Jika lulus, Joko akan melanjutkan ke SMA tahun ini. Wajahnya beseri-seri tiap kali orang bertanya kepadanya tentang sekolah yang akan dimasukinya. Dia bermimpi bisa sekolah di SMA II, SMA favorit dikotanya. Kabar yang sampai kepada joko, sekolah menengah atas yang dimaksud adalah sebuah sekolah yang berada di dalamnya guru-guru cerdas yang berdedikasi. Fasilitas lengkap yang dimiliki, semakin memoles kualitasnya. Layaknya gincu yang membuat indah bibir wanita. Ruang-ruang kelas dan kantor memang gedung-gedung tua, tapi kekukuhan struktur bangunan membuatnya malah tampak anggun Ditambah lagi, kesejukan yang diciptakan setengah lusin pohon mangga peninggalan zaman belanda. Pohon-pohon besar yang katanya didiami gendruwo turun-temurun itu, malah membuat joko semakin terpikat ingin besekolah disana.
Joko bukan anak yang pintar-pintar amat, tapi dia tidak layak dianggap bodoh. Rangking nilainya selalu antara lima sampai sepuluh. Tak pernah lebih. Anaknya rajin dan sopan, Tidak sombong dan baik hati. Temannya banyak tentu saja. Wajahnya tampan dan tubuhnya semampai. Pandai mendrible bola basket dan lincah menggiring bola. Banyak cewek yang naksir padanya. Anak muda yang nyaris sempurna. Benar, hampir-hampir dia sempurna. Sayangnya, dia anak orang yang tidak kaya.
Bapak joko meninggal karena TBC tujuh tahun lalu. Ketiadaan biaya membuat bapaknya menyerah pada sang batuk darah. Sepeninggalan bapaknya, ibunyalah yang menggantikan mencari nafkah. Sang Ibu bekerja apa saja. Mulai buruh tanam padi sampai menyetrika dan mencuci pakaian kotor orang-orang kaya. Cuma, semenjak enam bulan lalu, ibu Joko mendapatkan bantuan bank untuk menjalankan usaha berjualan es cendol berkeliling dengan gerobak dorong.
Genap setahun berkeliling, setelah mendapat pelangggan yang lumayan, ibu joko memarkir gerobak dorongnya di perempatan jepang bersama orang-rang lain yang juga berdagang makanan kecil. Perempatan jepang adalah perempatan jalan ditengah kota yang ramai. Nama jepang diberikan karena dulu disana berdiri sebuah toko bangunan yang sangat terkenal. toko Matahari namanya. Di depan namanya yang terbuat dari tembok, tergambar lingkaran merah besar dengan latar belakang putih, mirip bendera jepang. Bisa dikatakan perempatan itu berhutang budi pada si toko bangunan. Karena ia menjadi terkenal disebabkan toko yang sudah tak lagi terlihat sisanya lagi kini. Tapi meskipun demikian, perempatan itu tetap saja dipanggil perempatan jepang.
Diatas trotoar perempatan jepang itulah ibu joko menggantungkan harapan. Dari hasil penjualan es cendol, dia makan dan membiayai sekolah joko. Meski berat, semua dijalaninya dengan ikhlas. Setiap hari ibu joko bangun jam tiga pagi untuk memasak dan menyiapkan dagangannya. Jam sembilan pagi, dia harus sudah berjualan di perempatan sampai siang sampai jualannya habis. lalu dilanjutkan berbelanja berbagai kebutuhan di pasar. Sampai dirumah, pekerjaan rumah lain menunggu. Memasak, bersih-bersih, mencuci dan menyetrika. Untung Joko anak yang baik, dia tahu beban yang ditanggung ibunya. Tidak keberatan ia membantu meringankan beban itu.
Kurang lebih enam ratus ribu rupiah yang harus di keluarkan untuk masuk SMA. Nominal itu sangat besar bagi joko dan ibunya. Tapi ibu joko bejanji untuk menyediakan uang itu sebelum pendaftaran dimulai. Kini ibu joko sudah menabung sekitar empat ratus ribu. Mngetahui ini, Joko sedikit nyaman hatinya, impiannya sebentar lagi terwujud.
Siang itu pembeli sepi sekali. Tidak seperti biasanya. Ibu joko menguap beberapa kali. Bosan ia dengan keadaan ini. Ia ingin agar joko bisa sekolah di SMA. Biar jadi anak pintar ia, biar hidupnya tidak seperti dirinya. Begitu do’a yang terus-menerus dilantunkan. Tapi siang ini kemana pembeli pergi?.
Sekonyong-konyong ia mendengar ribut-ribut di kejauhan. Belum sempat ia mencari tahu apa, dia telah melihat para polisi pamong praja yang menarik-narik gerobok dan menurunkan tenda dengan paksa. Dia mendengar jeritan dan makian yang silih berganti. Celaka, hari ini ada operasi. Pemerintah kota melarang dirinya dan teman-temannya berdagang disekitar perempatan. Mengganggu ketertiban dan merusak pandangan katanya. Tentu ia dan teman teman lain menolak perintah itu. Tiap hari ia membayar retribusi. Mengapa sekarang ia harus pindah? Kemudian jika pindah, apakah pemerintah bisa menjamin rejeki sebanyak sekarang?
Tapi untuk saat ini, dialog bukan sesuatu yang berguna. Maka ia mengemasi daganganya dan mendorong gerobaknya menjauh dari petugas. Tapi sepertinya terlambat, Dia merasakan tangan kuat menarik pundaknya. Dan tangan lain merampas gerobaknya dengan kasar. Dia kalap. Gerobak itu adalah hidup anak dan dirinya, harus dibela, demikian batinnya.
Maka ia bersumpah serapah memukuli para petugas sebisanya. Melempari mereka dengan es batu. Tapi para petugas terlalu banyak dan tubuh mereka terlalu kuat. Dua petugas memegang tangan dan kakinya. Dia beteriak-teriak semakin serak dan berubah menjadi tangisan saat cendol yang dibuat semalam berhamburan ketika petugas menaikkan gerobak ke atas truk. Di mata ibu joko cendol itu berubah menjadi mimpi joko yang pecah berhamburan.
diambil dari situs http://guruindo.blogspot.com oleh: Muhammad Faisal, SPd
Joko bukan anak yang pintar-pintar amat, tapi dia tidak layak dianggap bodoh. Rangking nilainya selalu antara lima sampai sepuluh. Tak pernah lebih. Anaknya rajin dan sopan, Tidak sombong dan baik hati. Temannya banyak tentu saja. Wajahnya tampan dan tubuhnya semampai. Pandai mendrible bola basket dan lincah menggiring bola. Banyak cewek yang naksir padanya. Anak muda yang nyaris sempurna. Benar, hampir-hampir dia sempurna. Sayangnya, dia anak orang yang tidak kaya.
Bapak joko meninggal karena TBC tujuh tahun lalu. Ketiadaan biaya membuat bapaknya menyerah pada sang batuk darah. Sepeninggalan bapaknya, ibunyalah yang menggantikan mencari nafkah. Sang Ibu bekerja apa saja. Mulai buruh tanam padi sampai menyetrika dan mencuci pakaian kotor orang-orang kaya. Cuma, semenjak enam bulan lalu, ibu Joko mendapatkan bantuan bank untuk menjalankan usaha berjualan es cendol berkeliling dengan gerobak dorong.
Genap setahun berkeliling, setelah mendapat pelangggan yang lumayan, ibu joko memarkir gerobak dorongnya di perempatan jepang bersama orang-rang lain yang juga berdagang makanan kecil. Perempatan jepang adalah perempatan jalan ditengah kota yang ramai. Nama jepang diberikan karena dulu disana berdiri sebuah toko bangunan yang sangat terkenal. toko Matahari namanya. Di depan namanya yang terbuat dari tembok, tergambar lingkaran merah besar dengan latar belakang putih, mirip bendera jepang. Bisa dikatakan perempatan itu berhutang budi pada si toko bangunan. Karena ia menjadi terkenal disebabkan toko yang sudah tak lagi terlihat sisanya lagi kini. Tapi meskipun demikian, perempatan itu tetap saja dipanggil perempatan jepang.
Diatas trotoar perempatan jepang itulah ibu joko menggantungkan harapan. Dari hasil penjualan es cendol, dia makan dan membiayai sekolah joko. Meski berat, semua dijalaninya dengan ikhlas. Setiap hari ibu joko bangun jam tiga pagi untuk memasak dan menyiapkan dagangannya. Jam sembilan pagi, dia harus sudah berjualan di perempatan sampai siang sampai jualannya habis. lalu dilanjutkan berbelanja berbagai kebutuhan di pasar. Sampai dirumah, pekerjaan rumah lain menunggu. Memasak, bersih-bersih, mencuci dan menyetrika. Untung Joko anak yang baik, dia tahu beban yang ditanggung ibunya. Tidak keberatan ia membantu meringankan beban itu.
Kurang lebih enam ratus ribu rupiah yang harus di keluarkan untuk masuk SMA. Nominal itu sangat besar bagi joko dan ibunya. Tapi ibu joko bejanji untuk menyediakan uang itu sebelum pendaftaran dimulai. Kini ibu joko sudah menabung sekitar empat ratus ribu. Mngetahui ini, Joko sedikit nyaman hatinya, impiannya sebentar lagi terwujud.
Siang itu pembeli sepi sekali. Tidak seperti biasanya. Ibu joko menguap beberapa kali. Bosan ia dengan keadaan ini. Ia ingin agar joko bisa sekolah di SMA. Biar jadi anak pintar ia, biar hidupnya tidak seperti dirinya. Begitu do’a yang terus-menerus dilantunkan. Tapi siang ini kemana pembeli pergi?.
Sekonyong-konyong ia mendengar ribut-ribut di kejauhan. Belum sempat ia mencari tahu apa, dia telah melihat para polisi pamong praja yang menarik-narik gerobok dan menurunkan tenda dengan paksa. Dia mendengar jeritan dan makian yang silih berganti. Celaka, hari ini ada operasi. Pemerintah kota melarang dirinya dan teman-temannya berdagang disekitar perempatan. Mengganggu ketertiban dan merusak pandangan katanya. Tentu ia dan teman teman lain menolak perintah itu. Tiap hari ia membayar retribusi. Mengapa sekarang ia harus pindah? Kemudian jika pindah, apakah pemerintah bisa menjamin rejeki sebanyak sekarang?
Tapi untuk saat ini, dialog bukan sesuatu yang berguna. Maka ia mengemasi daganganya dan mendorong gerobaknya menjauh dari petugas. Tapi sepertinya terlambat, Dia merasakan tangan kuat menarik pundaknya. Dan tangan lain merampas gerobaknya dengan kasar. Dia kalap. Gerobak itu adalah hidup anak dan dirinya, harus dibela, demikian batinnya.
Maka ia bersumpah serapah memukuli para petugas sebisanya. Melempari mereka dengan es batu. Tapi para petugas terlalu banyak dan tubuh mereka terlalu kuat. Dua petugas memegang tangan dan kakinya. Dia beteriak-teriak semakin serak dan berubah menjadi tangisan saat cendol yang dibuat semalam berhamburan ketika petugas menaikkan gerobak ke atas truk. Di mata ibu joko cendol itu berubah menjadi mimpi joko yang pecah berhamburan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar